di Atas Takdir-Mu Cinta Kujaga



“Tidak seharusnya kita berpikir seperti itu, Ukhti. Kita tidak boleh egois memaksakan kehendak. Kita ini aktivis dakwah, kita hanya bisa mengajak dan menasehatinya. Serta memberikan kemafhuman bahwa yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. Urusan terima atau tidaknya, itu bukan hak kita untuk memaksanya berubah menjadi muslimah yang mengamalkan islam secara kaffah.Kita tawakkal serahkan semuanya pada Allah azza wa jalla. Itulah ikhtiar kita. Yang paling penting bagi kita selaku aktivis dakwah, isbirun dan jangan menjauhinya tapi berlaku baiklah serta rangkullah ia. Dakwah ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak mudah menjadikan seseorang berubah secara total,” jelasku panjang lebar kepada Zahra. Zahra yang berharap sekali teman perempuannya berubah menjadi muslimah sejati yang menjalankan syariat islam minimal memakai jilbab. Zahra salah satu akhwat seperjuanganku. Kulihat wajahnya mulai tenang mendengarkan nasehatku. Zahra yang sangat bersemangat ketika berbicara masalah dakwah fisabilillah guna menyelamatkan generasi muda dari arus globalisasi dan produk-produk yahudi yang liberal yang ingin menghancurkan generasi umat islam dengan berbagai cara. Bahkan prioritas dan azzamnya yang membuatku kagum pada Zahra. “Kalaupun aku harus mati di jalan-Nya maka I’m pround and that my choice,” gumamnya suatu ketika bersamaku dalam suatu seminar yang di gelar oleh salah satu pondok pesantren.
“Tapi, kak! Bukankah mereka sudah sering Zahra sampaikan bahwa kewajiban menutup aurat itu perintah Allah yang termaktum di dalam Al- quran,” protes Zahra belum sepenuhnya ia menerima penjelasanku. Aku berfikir positif mungkin karena keinginannya yang terlalu besar sehingga menutup pikirannya untuk berfikir secara realistic.
“Benar sekali yang ukhti sampaikan, tapi yang harus diingat siapapun dan darimanapun orang yang menyampaikan kalau bukan dirinya sendiri yang tidak mau berubah maka tidak aka nada perubahan dalam hidupnya. Bukankah ukhti sering mendengarkan firman-Nya dalam surah Ar-Ra’ad: 11 sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau bukan kaum itu sendiri yang merubahnya. Jadi, di samping kita menyampaikan kebenaran, maka diperlukan juga dorongan motivasi dari dalam diri kita untuk melakukan sebuah perubahan, bukan sebaliknya. Bersifat apatis terhadap hidup kita. Jika hidup kita biasa-biasa saja dan bersahabat dengan lembah kehinaan dengan melakukan kemaksiatan, kita biarkan diri kita ikut arus tanpa mencoba untuk melawan arus itu. Berprinsip mengalir apa adanya tanpa ada kemaun untuk melakukan sebuah revolusi kearah yang lebih baik.” Zahra mendengarkan untaian demi untaian kalimat yang kuucapkan dengan seksama. Mencoba memahami setiap kata tersebut, tapi aku yakin Zahra bisa memahaminya. Entah karena untaian nasehat yang kuucapkan kulihat pelupuk matanya menampung air yang bening. Hingga kelopak mata tersebut tak mampu lagi untuk membendungnya seketika menetes membasahi pipinya yang bak baby face. Mata yang binar itupun sayup dan kemerahan. Percakapanku dengan Zahra terhenti seiring dengan terdengarnya seruan menghadap pada Sang Khaliq dari menara masjid. Setelah mengucapkan salam aku meninggalkan Zahra melangkahkan kaki ini memenuhi seruan-Nya. Sadar aku berstatus sebagai hamba. Abdi Allah yang harus menjalankan kewajibanku. Aku bersyukur karena hati ini masih rindu akan ke Hadirat-Nya meninggalkan sifat hedonism dan rindu akan kampung akhirat. Semoga hati ini tetap istiqamah di jalan-Nya.
***
Hari-hariku kembali kujalani dengan sejuta nikmat yang senantiasa aku rasakan dari-Nya. Kicau burung, mentari merekah, dan tetesan embun kembali menghiasi cakrawala dunia. Hari ini aku kembali mengukir sejarah dalam lembaran hidupku. Entah sama dengan hari kemarin, lebih baik lagi, atau bahkan sebaliknya. Tapi aku berharap dan berazzam hari ini harus lebih baik dari hari kemarin karena Rasulullah shallallu alaihi wasallam bersabda orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia beruntung. Kumanage waktuku secara sistematik. Mulai dari bangun tidur, aktivistas kuliah, organisasi bahkan mimpi-mimpiku untuk kedepannya. Menginterpretasikan makna kehidupan dengan jalanku sendiri membuatku terkadang mengalami kemandekan untuk menentukan sikap. Tapi itulah manusia terkadang berada pada situasi yang menguras tenaga dan pikiran untuk menentukan sikap dan solve. Sudah dua jam lebih aku berdiri didepan kampus menunggu Zahra karena sesuatu hal yang sangat urgent harus kusampaikan. Tak kulihat batang hidungnya berlalu lalang di area kampus. Apa Zahra tidak masuk kuliah? Sakit? Di masjid, perpus, atau sudah pulang? Sederetan pertanyaan itu terus mendesakku untuk mencari tahu. Aku menuju ke masjid kampus seakan ada magnet yang menarikku untuk cepat menuju ke sana. Jantungku berdebar kencang seperti genderang yang dipukul oleh para seniman mementaskan karya terbarunya dengan spektakuler.
“Ya Allah, ada apa ini?” aku terus mengucapkan tasbih berdzikir menenangkan hati. Karena dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Itulah firman-Nya. Aku bergegas ke arah masjid.
“Masya Allah, ada apa ukhti?” setelah berada dalam masjid kulihat Zahra berlinang air mata. Disampingnya Fatimah terusnya membujuknya tapi air mata Zahra semakin berlinang deras. Deras sekali. Membasahi jilbab abu-abu yang menjulur sampai kelutut yang ia kenakan.
“Ada apa ukhti? kenapa ukhti menangis?” tanyaku dengan rasa penasaran. Fatimah dan Zahra menatapku tanpa berkata apapun. Tatapan yang tidak kumengerti. Suasana menjadi hening, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sejurus aku berfikir keras untuk memecah kebisuan ini.
“Kak...” Suara Zahra memecah keheningan. Aku hanya menunduk seraya menjaga pandangan.
“Kak Hafidz, Zahra dijodohkan, kak. Kemarin Zahra dikhitbah dan orangtua Zahra menerimanya tanpa meminta persetujuan dari Zahra. Perjodohan itu disepakati sejak Zahra berusia lima tahun. Seminggu sebelum resepsi khitbah orang tuaku baru mengatakannya. Aku bingung kak,” jujur aku tersentak mendengar penuturan Zahra. Aku mengernyitkan dahi dan menelan ludahku karena kerongkongan ini tiba-tiba kering. Hati ini seakan perih. Rekahnya mentari yang hangat menyusup kesetiap pori-pori tak lagi kurasakan. Mendung seketika, hampa, hambar, dan tak ada daya rasanya untuk berucap. Bahkan untuk mengucapkan sepatah katapun susah bagiku. Air mataku kurasakan sebentar lagi akan berjatuhan bak mendung yang siap menurunkan hujan dengan lebat tapi aku tahan dengan segenap kekuatanku. Aku harus tegar. Aku ini laki-laki bagaimana pun konsekuensinya aku harus kuat. Aku tidak boleh terlihat lemah bahkan lebay di hadapan Zahra dan Fatimah. Bukankah cinta itu tak selalunya harus kita miliki. Cinta tidak seharusnya memiliki tendensi yang lain. Cinta terkadang membuat kita bahagia dan sedih. Itulah uniknya cinta. Secara diam-diam aku sangat menyayangi Zahra bahkan aku telah mencintainya. Aku mencintainya dan selama ini aku jaga cinta itu. Aku simpan rapat-rapat dalam relung hatiku terbungkuskan harapan suatu hari aku datang mengkhitbahnya. Hingga saat ini aku masih mencintainya dan tak pernah kuberi tahu siapapun, termasuk dia. Aku ingin cinta ini tetap suci hingga kami disatukan dalam ikatan yang halal di mata manusia lebih-lebih lagi di hadapan-Nya. Tapi harapan itu kini hanyalah sebuah angan yang brgelantungan pada langit dunia.
“Ukhti, insyaAllah itulah yang terbaik yang Allah berikan. Syukurilah dan ambillah ibrah dari semua yang berlaku. Allah tahu bahwa ukhti sudah mampu mengemban amanah menjadi istri dan calon ibu kelak, makanya Allah menakdirkan ukhti menikah di usia muda.” ucapku pada Zahra dengan mimik wajah yang kubuat bersikap biasa-biasa saja. Mimik wajah kubuat bahagia meski hati ini menolak untuk melakukannya.
“Tapi kak, Zahra belum tahu akhlaknya, pergaulan bahkan semua tentangnya buram bagiku,” Zahra seakan belum siap dengan semua itu, mungkin ada alasan yang urgent yang membuatnya belum bisa menentukan sikap. Aku kembali menyakinkannya.
La yukallifulluh nafsan illaah wus’aha. Ingat firman-Nya ukhti. Bukankah setiap problem yang kita hadapi pasti ada solve-nya? Seandainya orang tua ukhti tidak mengetahui dan kenal baik dengannya aku percaya beliau tidak akan menerimanya. Pernikahan berarti menyempurnakan separuh agama, kini Allah membukakan jalan untuk menyempurnakan separuh agama itu. Maka jemputlah ia dengan senyuman indah penuh cinta kasih. Rangkul dan peluklah anugrah terindah yang Allah peruntukkan untukmu ukhti. Sambutlah dan mulailah mencoba membuka lembaran baru dengan cinta yang mampu menggetarkan langit dan mendapat Ridha-Nya. Terimalah kenyataan ini dengan dasar cinta karena-Nya. Cinta senantiasa bergerak. Hati saling mengerti satu sama lain berdasarkan intuisi, dimana jiwa-jiwa telah menjadi matang oleh pemahaman. Belajarlah untuk mencintainya karena atas dasar cintalah kehidupan ini akan lebih berwarna.” Aku tersenyum. Tersenyum karena bahagia atau sedih semua berpadu menjadi satu aliran.
Sudah lama aku tidak pernah melihat Zahra bahkan keberadaannya tak kutahu lagi. Pertemuanku di dalam masjid kampus merupakan pertemuan terakhirku dengannya. Menurut informasi, Zahra berhenti kuliah dan pindah rumah beserta keluarganya. Dia pun tidak pernah memberitahuku kemana ia pergi. Ada perasan hilang dalam hidupku yang menyergap hari-hariku semenjak kepergiannya tapi aku berusaha memahami setiap kejadian yang kualami. Menyelami arti kehidupan dan mengambil sirat makna dibalik semua yang telah berlaku. Kembali kudesain hidupku, kembali menuliskan mimpi-mimpi baru yang kuprioritaskan  harus kugapai. Menuliskan misi sebanyak-banyaknya dan bertekad untuk lulus ujian akhir dengan predikat mahasiswa terbaik dengan hasil cumlaude. Menghiasi hari-hariku dengan berbagai aktivitas padat. Mulai dari kuliah sampai kembali eksis dan menjdi kader militan dalam organisasi. Walaupun banyangan Zahra sesekali melintas dalam benakku namun secepat itu juga kutepis bayangan wajahnya. Aku harus lebih menggunakan logika.
Hembusan angin membelai wajahku. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, seiring dengan silih bergantinya siang dan malam kehidupanku terus kulalui hingga takdir membawaku pada keadaan statis. Tak terasa aku sudah berada pada tingkatan akhir, seminar proposal sebulan lagi setelah itu penyusunan skripsi. Tapi sebagai aktivis dakwah aku tetap menyisihkan sebagian waktuku untuk tetap aktif di organisasi dengan mengadakan pengkaderan dan training. Perlahan tapi pasti, ingatan tentang Zahra kian menghilang aku kini lebih bisa menerima kepergiannya dan lebih mampu fokus menatap masa depanku. “Apa yang ingin kau lakukan?” gumamku. Handphoneku berdering.
“Assalamu’alaikum. Afwan dengan bapak Hafidz ?” Tanya seorang laki-laki yang menelponku.
“Wa’alaikumussalam, iya benar saya sendiri. Siapa?”
“Afwan menganggu Bapak. Kami dari panitia pelatihan meminta bapak untuk bersedia sebagai nara sumber pada Training Motivation For Teens,
Deadlinenya kira-kira kapan, Pak?”
“InsyaAllah tanggal 15 pekan depan, Pak.” Aku menghela nafas mengingat-ingat planning tuk pekan depan ternyata kosong.
“InsyaAllah saya akan datang, Pak. Saya minta satu hari sebelum deadlinenya tolong hubungi saya, takutnya nanti lupa.”
“Iya pak, syukran katsiran. Semoga Allah memudahkan.”
“ Afwan.” Telpon terputus dengan salam.
***
Hari H dari training motivasi tiba. Dengan mengenakan baju kokoh berwarna hijau dan celana kain hitam di atas mata kaki, aku menuju tempat kegiatan diselenggarakan. Perjalanan menuju ke lokasi acara kutempuh dengan angkot sekitar lima belas menit. Peserta terlihat antri di tempat registrasi. Aku menuju ruang tunggu yang telah disediakan oleh panitia. Setelah beberapa menit berlalu acarapun dimulai. Moderator mengucapkan salam dan welcome kepda seluruh audience. Dia lalu mengenalkan narasumber pada acara kali ini dengan menyebut namaku dan nama seorang akhwat, Nurul Hafidzah. Setelah mengerjakan sholat dhuha, aku melangkah ke audioturium. Langkahku terhenti, mataku menangkap sesosok perempuan yang telah mengisi ruang hatiku dua tahun silam. Ada rasa yang mengalir dalam tubuhku berkorelasi dengan aliran darahku. Desah nafasku menghembuskan arti kebahagiaan. Perempuan yang sudah dua tahun tidak pernah aku lihat kini berdampingan denganku sebagai narasumber. Dimana saat ingatan tentangnya mulai pudar kini dia hadir kembali. Pandangan kami berpapasan. Zahra kini tampak lebih dewasa.
“Astagfirullah,” aku menundukkan pandangan memohon ampun. Tidak seharusnya aku memandangnya begitu lama. Aku terus melangkah, aku harus profesional dan tidak boleh mendramatisasi keadaan.
“Assalamu’alaikum, ukhti.” sapaku setelah berada dekat dengan dirinya
“Wa’alaikumsalam.” Zahra menjawab salamku dan menundukkan kepala. Tak satupun kalimat atau tanya yang terucap untukku. Training pun dimulai, aku sampaikan materiku dengan sebaik mungkin, lugas dan detail. Training berlangsung dengan baik. Antusias dari peserta sangat baik. Pertanyaan demi pertanyaan yang menghujaniku, aku jawab sebisaku dan tak ada kata tidak bisa, aku tidak ingin peserta merasa kecewa. Setelah training selesai aku tidak melihat Zahra. Mungkin sudah dijemput oleh suaminya? Tanyaku pada diriku sendiri. Sebelum meninggalkan tempat kegiatan, aku bertanya pada salah satu panitia.
“Daeng, yang menjadi narasumber selain saya, itu siapa?” Tanyaku mencari tau, karena moderator menyebut namanya sebagai Nurul Hafidzah bukan Zahra.
“Oh, yang berjilbab panjang yang duduk disamping ta?” Aku menganguk
“Namanya Zahra Cuma dalam training dan kegiatan lainnya ia sering memakai nama pena, yaitu Nurul Hafidzah. Soalnya selain mahasiswi ia juga seorang penulis. Orangnya cantik, muda, dan belumpi ada suaminya,” jawab panitia dengan logat Bugis Makassarnya yang masih kental. Aku tersentak kaget mendengar penuturan panitia penyelenggara. Kata-kata terakhirnya membuatku sulit untuk berpikir.
‘Belumpi ada suaminya’ apa Zahra belum menikah? Tapi kenapa? Bukankah dua tahun silam ia dikhitbah? Aku tidak bisa berfikir jernih. Semuanya terasa buram untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Pertanyaan yang entah kapan akan terjawab.
“Ya Allah, mengapa saat aku bisa melupakannya, ia kembali hadir dalam kehidupanku. Astagfirullah,” aku tidak seharusnya mengeluh kepada-Nya hanya hal seperti ini. Waktu terus berlalu, tapi pertanyaan yang memenuhi ruang hatiku masih pertanyaan yang sama. Benarkah Zahra belum menikah? Berkali-kali kutepiskan pertanyaan ini dan berfikir jernih dan realistis. Mungkin saja pertemuanku dengan Zahra hanyalah kebetulan tapi adakah yang bernama kebutulan di dunia ini? Aku mencoba menghubungi Fatimah berharap ia tahu apa yang sebenarnya berlaku pada Zahra, tapi sia-sia saja nomor Fatimah tidak bisa dihubungi meskipun berulang kali kucoba tapi hasilnya nihil. “Mungkin Fatimah telah ganti nomor.” Ku rebahkan tubuh ini, menghilangkan kepenatan dan rasa penasaran yang menyelimuti ku di malam yang dingin ini. Biarkan rasa ini berbaur dengan dinginnya malam.
Di suatu pagi. Di hari yang cerah, pelangi melukis keindahannya di jagad raya. Aku melihat pesan baru dalam inbox handphoneku, sebuah message dari nomor tanpa identitas nama.
“Bismillah…
Kerinduan cinta menjauhkan tabir dan menerangi relung-relung hati dengan menciptakan kebahagiaan yang tidak ada kebahagiaan lain dapat melebihinya kecuali ketika jiwa itu memeluk Tuhan. Cinta laksana matahari yang muncul dari awan-awan dan selalu menghangatkan jiwa kita. Sambutlah cintamu akhi yang sudah lama merana menantikan kehadiranmu. Jadikanlah ia ustadzah di rumah yang engkau memadu kasih di bawah naungan ke-Ridhoan-Nya. Bersegeralah, akhi.”
Setiap kalimatnya tinggi dan puitis. Aku masih belum mengerti maksud dari bait katanya. Siapakah ia? Akupun membalas pesannya tuk menjawab rasa penasaran dan rasa ingin tahuku
“Bismillah...
Afwan, saya tak mengerti untaian kata yang Anda tuliskan. Bahkan tak satupun kalimat yang aku pahami. Siapakah yang harus kujadikan ustadzah di rumah ? apa yang harus ku segerakan? Afwan, ini siapa? ”
“Bismillah…
Afwan akhi kalau setiap kalimatku tak satupun yang antum mengerti. InsyaAllah kalau akhi punya waktu datanglah ke TPA AL-Ikhwan besok ba’da asar, akhi akan tau semuanya. Semoga Allah mengampuniku atas kelancanganku semuanya tapi percayalah ini semua demi kebaikan akhi.”
***
Ba’da asar aku menuju TPA Al-Ikhwan. Aku sengaja sholat asar diperjalanan supaya bisa on time. Kulihat seorang akhwat bercadar sedang membaca buku di halaman masjid dekat TPA. Ia memberi salam takkala aku semakin dekat dengannya. Aku mersa risih dengan keadaan kami yang hanya berdua saja apa lagi dalam lingkup masjid.
“Afwan akhi, ana yang mengirimkan pesan kemarin.” ucapnya memulai percakapan. Suaranya tidak asing bagiku, hanya karena wajahnya dibalik niqob maka aku tidak bisa memastikan siapa dirinya.
“Afwan ukhti, tidak seharusnya kita berkhalwat nanti ada fitnah,”
“InsyaAllah tidak akhi. Ana kesini bersama dengan mahram hanya saja kakak masih didalam masjid. Kita tunggu sejenak sebelum akhi tahu semuanya ” aku tidak sabar untuk menunggu, kuingin segera mengetahuinya supaya semuanya jelas.
“Ukhti sebenarnya siapa ? dan apa maksud dari semua ini?”
“Ana Fatimah akhi Hafidz” aku memuji dan bersyukur pada-Nya atas segala yang Dia berikan padaku. Bukankah kemarin aku ingin sekali bertemu dengan Fatimah untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku? Dan kini Allah membuka jalan ini untukku di saat ku mulai rapuh tapi… tapi perubahan Fatimah, subhanallah ya Allah.
“Ukhti Fatimah temannya, Zahra? ” tanyaku mencari kepastian.
“Na’am, akhi.,” Fatimah lalu memberiku selembar kertas yang penuh dengan goresan cinta. Aku segera membacanya tanpa satu kata pun yang terlewati.
Selasa 2007,
Aku menemukan sesosok pemuda langka di zaman ini. Tutur katanya senantiasa mengingatkanku pada kebesaran-Nya dan membuat hati ini semakin terpaut pada-Nya dengan cinta. Cinta yang tulus hanya untuk-Nya. Ya Allah, salahkah jika aku mencintai dan berharap ia menjadi calon bapak dari anak-anakku kelak. Ya Allah, jika aku boleh meminta, jadikanlah ia sebagai jodohku di dunia dan di alam keabadian akherat. Jadikanlah ia sebagai imam bagiku untuk meneguk sebanyak-banyak cinta-Mu. Kak Hafidz,
Ketiadaan bagi cinta
Laksana angin bagi api
Ia membakar yang kecil
Menyalakan yang besar
Datanglah bersamaku
Dan jadilah cintaku
Kita akan menikmati segala suka cita
Yang dihasilkan oleh bukit-bukit
Dan lembah-lembah hutan
Dan pegunungan.
(Zahra yang mengharapkan keRidhoan-Nya)
***
Konvergensi senja dengan bentangan malam kini silih berganti. Kunikmati semuanya dengan penuh kekaguman terhadap keagungan-Nya. Pergulatan di dalam hatiku pun mengiringi perjalananku setelah bertemu dengan ukhti Fatimah. Pergulatan untuk tetap pada titik stagnan atau menjemput cinta dalam mahligai rumah tangga yang di Ridhoi Oleh-Nya. Aku masih belum bisa untuk menentukan sikap. “Apakah aku pantas mendampingi ukhti Zahra? Apakah ia akan menerima pinanganku? Bagaimana dengan keluarganya jika ia melihat materi sebagai indikasi pertama?” pergulatan itulah yang membuatku statis pada titik ini. Tidak melakukan sebuah pergerakan yang diwujudkan dalam sebuah treatment untuk memulai.
Setelah sholat istikharah berkali-kali ku kuatkan azzamku untuk mengkhitbah Zahra. Cukuplah Allah menjadi saksi atas ketulusan dan usahaku. Hari itu matahari semakin meninggi dan aku sudah siap menuju rumah Zahra, semua kemungkinan sudah aku pikirkan. Diterima tidaknya aku serahkan semua pada yang berhak tuk mengatur hidupku. Setelah sampai di ambang pintu rumahnya aku memberanikan diri mengucapkan salam. Dari dalam rumah kudengar suara langkah kaki menuju pintu.
“Assalamu’alaikum,” ucapku setelah kutau yang membukakan pintu adalah orangtua Zahra.
“wa’alaikumussalam.”
“Zahranya ada, bu? Saya Hafidz teman kampusnya Zahra sebelum ia pindah dua tahun silam.”
“Oh nak Hafidz. Zahra sering bicara sama ibu tentang nak Hafidz. Tapi Zahra ….”
“Tapi Zahra kenapa bu?” Tanyaku dengan hati yang tidak pasti. Ada firasat buruk yang merasuk kedalam hatiku yang membuatku merasa takut.
“Zahra ke London, Nak. Melanjutkan kuliah Sastra Bahasa Inggrisnya di Universitas Oxford.”
“Kapan berangkatnya, bu?”
“Alhamdulillah kemarin, Nak,” aku menundukkan kepala dan menyesali diriku sendiri. Seandainya dari kemarin tujuan ini saya segerakan mungkin semuanya berbeda. Atau ini tanda bahwa aku tidak berjodoh dengan Zahra. Kutepiskan perasaan sesal ini dan menata hati untuk berfikir positif, mengambil ibrah dari semua ini. Mungkin garis takdir Cuma menuliskan aku dengan Zahra sebatas saudara semuslim yang terikat dalam ikatan Ukhuwah Islamiyah, tidak lebih dari itu. Tapi kenapa hati ini masih tidak bisa menerima semua ini dengan ikhlas. Atau benarkan para pujangga yang menyatakan bahwa cinta tak selamanya memiliki? Kini sang surya cerah gemerlapan di ufuk timur dan kucoba untuk menyunggingkan senyumanku menjalani kehidupan ini. Biarkan lah catatan tentang Zahra menjadi bagian kisah terindah dalam hidupku yang akan menjadi bukti bahwa betapa aku menjaga hati dan cinta ini berdasarkan syariat dan koridor yang seharusnya.
“Nak Hafidz,” suara ibu Zahra membangunkan ku dari lamunan tentang Zahra.
“Nak Hafidz, Zahra pernah bicara sama ibu bahwa ia menginginkan suami seperti nak Haafidz.” penuturan ibu Zahra mengangetkan ku. Aku menatapnya dalam-dalam mengharap ada harapan dan jalan bagiku tuk menwujudkan tujuan mulia ini, menjadikan Zahra ustadzah di rumahku kelak.
“Tapi, nak Hafidz sudah terlambat karena…..”
“Maksudnya, bu?”
“Dua hari sebelum keberangkatan Zahra ke London lamaran dari nak Ilham kami terima, begitupun dengan Zahra sudah mengikhlaskan dirinya menjadi istri nak Ilham kelak. Zahra bilang sama ibu bahwa nak Hafidz tidak memiliki rasa yang sama dengannya. Nak Hafidz Cuma menganggapnya sebagai adik, dan itu tidak lebih. Itulah yang Zahra ucapkan sebelum ia menerima lamaran nak Ilham. Zahra juga pernah bilang bahwa ia pernah bertemu nak Hafidz di sebuah seminar dan sangat berharap nak Hafidz datang ke rumah tuk mengkhitbahnya.”
Langit cerah di ufuk timur tak lagi indah kulihat. Semua penjelasan ibu Zahra membuat tubuh ini rapuh dan aliran darahku beku. Aku tidak tau harus menanggapinya seperti apa. Tanpa aku sadari air mata beningpun menetes sebagai bukti bahwa betapa kuingin dan berharap Zahra menjadi kekasih hatiku yang terikat dengan ikatan suci pernikahan.
“Bu, sampaikan salam maafku dengan Zahra dan aku minta sama ibu untuk tidak memberitahukan bahwa aku pernah ke rumah mencarinya. Biarkan ia menjadikan diriku sebagai masa lalu dalam hidupnya,” aku berpamitan pulang tanpa pernah mengatakan tujuanku datang ke rumahnya. Biarkan semuanya menjadi kisah terindah dan catatan yang tertulis dalam garis takdir. Aku terus berjalan dan berjalan menelusuri lorong-lorong labirin hidupku. Aku harus sadar bahwa mencintai seseorang tidak mutlak kita harus mendapat balasan cintanya dan aku tahu bahwa Allah sedang memberikan pengajaran dan didikan bagiku untuk menjalani fase kehidupan berikutnya. Allah tahu yang terbaik bagiku bukan hanya hari ini tapi untuk hari berikutnya. Kubiarkan cinta ini tetap ada dalam hidupku karena kutahu cinta itu fitrah dan anugrah Ilahi yang terindah yang ia titipkan padaku. Cintaku akan kujaga seperti aku menjaga hati.
Aku terus melangkah dan kulihat awan-awan membentuk sebuah harmonisasi cinta yang indah dan kulihat pelangi merangkai garis-garis cinta yang membuat semua insan bahagia karena cinta.
Cinta adalah fitrah dan anugrah Ilahi yang harus kita syukuri serta tidak membuat kita buta terhadap hal-hal yang mengotori kesucian cinta. Teruslah menebarkan sayap-sayap cintamu yang membuat hidup ini mendapat ke-Ridhoan-Nya.
***


[1] Cerpen Ini Pernah Dimuat Di Laman Online Okezone.com  Tahun 2013 Dengan Judul Berbeda (Cinta Lelaki Aktivis).

Comments